CSR (
Corporate Social Responsibility )
Dalam press release perusahaan itu
disebutkan bahwa sumbangan tersebut merupakan aktivitas Corporate Social
Responsilibity (CSR). Klaim itu rupanya menuai banyak tanggapan, yang intinya
mengatakan kegiatan tersebut tak layak disebut CSR atau CSR yang salah.
Berangkat dari kasus kecil di atas, sejatinya
agak sulit mendiskripsikan yang namanya CSR, apalagi jika penilaiannya layak
atau tidak, benar atau salah.
Jauh sebelum istilah CSR dikenal, sejumlah
perusahaan memang sudah mengandalkan program sosial sebagai program
komunikasinya, melalui community relations/community development program.
Cara itu umumnya dilakukan oleh perusahaan yang
berbasis alam, seperti OGM (oil gas mining), perkebunan, pabrik-pabrik
yang menghasilkan limbah, dan sebagainya. Merekalah yang selama ini gencar
melakukan community relations. Bahkan sebagian besar anggaran
komunikasinya adalah untuk CSR.
Perkembangan bisnis dan tuntutan global agar
dunia usaha menjalankan bisnis secara sehat dan etis membuat kegiatan sosial
pun makin beragam wujudnya. Mulailah industri-industri ”ringan” memasukkan CSR
dalam program kampanye perusahaan.
Contoh yang paling terkenal adalah The Body
Shop. Pendirinya, Anita Roddick, sejak awal memang mengaplikasikan ”green
concept” dalam perusahaan penghasil kosmetik ini.
Saat ini, tuntutan untuk melakukan CSR makin
tinggi termasuk perusahaan di Indonesia, terutama ketika hendak go global
atau sekadar menjalin kerja sama dengan perusahaan dari negara maju. Biasanya
yang ditanyakan oleh calon mitra bisnis adalah apa saja program CSR yang sudah
dilakukan. Ibaratnya CSR sudah menjadi semacam stimulan bisnis saat akan
bekerja sama dengan perusahaan dari negara maju.
Lalu bagaimana aplikasi CSR yang sesuai untuk
industri-industri ”ringan”, yang notenebe bukan pencemar lingkungan, seperti
perusahaan berbasis teknolog informasi, telekomunikasi atau perbankan/keuangan?
Seperti digagas Philip Kotler dan Nancy Lee
dalam bukunya berjudul Corporate Social Responsibility, sejatinya CSR
merupakan instrumen penting dalam menunjang strategi perusahaan, yakni
pencapaian citra yang diinginkan serta tujuan komersial. Oleh sebab itu,
aplikasinya memang harus ”nyambung” dengan strategi bisnis yang ada, entah itu corporate
social responsibility, corporate citizenship, community development, community
giving, atau community involvement.
CSR ala Kotler dan
Lee
Dalam CSR konsep Kotler dan Lee disebutkan ada
6 opsi. Pertama, cause promotion. Perusahaan mensponsori sebuah kegiatan
sosial yang sedang jadi perhatian masyarakat, untuk meningkatkan citra
perusahaan. Misalnya, fun walk, gerakan hijau, atau soal endemi flu
burung. Atau bisa saja seperti yang dilakukan perusahaan telekomunikasi XL yang
menyediakan fasilitas telepon gratis di lokasi-lokasi bencana alam. Contoh
lain, Unilever yang mendukung kampanye hijau.
Contoh yang ekstrem adalah PT Djarum.
Perusahaan rokok ini habis-habisan melakukan CSR di bidang bulutangkis;
mendirikan sekolah bulutangkis, membuat klub, memberikan beasiswa, dan rutin
melakukan aneka lomba dan mensponsori berbagai acara bulutangkis baik nasional
maupun internasional.
Meski tak ada korelasi antara produk (rokok)
dengan olahraga (prestasi), tapi orang dengan gampang bisa membaca aktivitas
Djarum rersebut. Bulu tangkis adalah salah satu cabang olah raga yang menjadi
kebanggaan Indonesia, yang sampai saat ini prestasinya masih punya pomor di
dunia internasional. Dan Kudus (Djarum) adalah salah satu sumber pemain bulu
tangkis yang berkelas.
Kedua, cause-related marketing, dalam
bentuk sumbangan (persentase) hasil penjualan untuk didonasikan. Ini paling
banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Misalnya, persentase dari
hasil SMS pelanggan selama kurun waktu tertentu didonasikan untuk kepentingan
pendidikan.
Contoh lain pernah dilakukan oleh produsen
sabun, makanan, dan masih banyak lagi. Selain relatif lebih mudah, cara ini
sekaligus melibatkan pelanggan. Ada unsur emotional relationship yang bisa
dikembangkan antara produsen dan pelanggan, dimana melalui program ini, kedua
belah pihak terlibat dalam sebuah program sosial.
Ketiga, corporate social marketing.
Dalam konteks ini perusahaan biasanya berupa kampanye untuk perubahan perilaku
masyarakat. Bisa untuk tujuan meningakatkan kesadaran akan hidup sehat,
pemeliharaan lingkungan, dan lainnya. Gerakan cuci tangan yang dilakukan oleh
sebuah produsen sabun, bertujuan membiasakan masyakarat mencuci tangan sebelum
melakukan pelbagai aktifitas. Katakanlah kampanye ”Internet sehat” yang
dilakukan dalam konteks untuk membawa masyarakat agar bisa memanfaatkan
Internet secara sehat.
Keempat, corporate philanthropy. Ini
yang paling jamak. Perusahaan memberikan donasi bagi masyarakat yang
memerlukan. Belakangan, konteks donasi ini dilakukan secara lebih strategis.
Artinya, philantropy dilakukan untuk mendukung tujuan bisnis perusahaan.
Seperti perusahaan ICT memberikan donasi berupa fasilitas internet gratis di
sebuah desa. Ini bisa dikolaborasikan dengan bentuk ketiga di atas, di mana
donasi ini dimanfaatkan untuk membiasakan masyarakat menggunakan Internet,
misalnya.
Kelima, community volunteering. Saat ini
sudah banyak perusahaan yang mengalokasikan sekian jam/per tahun dari jam kerja
karyawannya untuk pekerjaan sosial. Kegiatan ini dihitung dalam KPI (key
perfomance indicator) setiap karyawan. Karyawan bisa melakukan kerja probono,
sebagai sukarelawan, misalnya.
Keenam, social responsible business
practices. Intinya mengadopsi praktek bisnis yang sesuai dengan isu sosial
yang terjadi. Contohnya, perusahaan eceran yang mulai menggunakan kertas daur
ulang untuk kemasan produknya.
Enam pendekatan di atas bisa menjadi acuan bagi
perusahaan yang ingin menyertakan CSR sebagai bagian operasional bisnisnya.
Tentunya, apapun inisitif yang dipilih harus disesuikan dengan visi dan sasaran
perusahaan. Sebab, menurut Kotler, patokan kesuksesan sebuah CSR adalah
kemampuannya menunjang pencapaian strategi dan tujuan perusahaan.
Nah, tantangannya adalah bagaimana perusahaan
mampu secara cerdik memilih fokus program CSR dan bisa menjadikannya
“kendaraan” untuk merangkul pelanggan di masa depan. Karena,
secara sederhana, CSR akan sangat powerfull
untuk membangun pasar masa depan. Membangun citra sekarang, dan memanen
hasilnya kemudian adalah pola kerja CSR. Bukan sebaliknya.