Minggu, 27 Maret 2011

Implementasi & Penerapan Wawasan Nusantara


Implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yangsenantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi berbagai masalah menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh sebagai berikut :

1.    Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang. Dengan demikian wawasan nusantara menjadi pedoman bagi upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.

2.    Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional

a)    Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas aktif. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut tampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
b)    Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Di samping itu, implementasi wawasan nusantara mencerminkan tanggung jawab pengelolaa sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
c)    Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia Tuhan. Implementasi ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau kepercayaan,serta golongan berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.
d)    Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Pertahanan dan keamanan. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan keamanan akan menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada tiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini menjadi modal utama yang akan mengerakkan partisipasi setiap warga negara indonesia dalam menghadapi setiap bentuk ancaman antara lain.
3.    Penerapan Wawasan Nusantara
a)    Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan wawasan nusantara. Khususnya di bidang wilayah. Adalah diterimanya konsepsi nusantara di forum internasional. Sehingga terjaminlah integritas wilayah territorial Indonesia. Laut nusantara yang semula dianggap “laut bebas” menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia.
b)    Pertambahan luas wilayah sebagai ruang lingkup tersebut menghasilkan sumber daya alam yang mencakup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
c)    Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional terutama negara tetangga yang dinyatakan dengan persetujuan yang dicapai.
d)    Penerapan wawasan nusantara dalam pembangunan negara di berbagai bidang tampak pada berbagai proyek pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, komunikasi dan transportasi.
e)    Penerapan di bidang sosial dan budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib sepenanggungan dengan asas pancasila.
f)     Penerapan wawasan nusantara di bidang pertahanan keamanan terlihat pada kesiapsiagaan dan kewaspadaan seluruh rakyat melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta untuk menghadapi berbagai ancaman bangsa dan Negara.
Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan individu dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sedang mengalami perubahan. Dan kita juga menyadari bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah nilai-nilai kehidupan baru yang di bawa oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya. Apabila kita menengok sejarah kehidupan manusia dan alam semesta, perubahan dalam kehidupan itu adalah suatu hal yang wajar, alamiah. Dalam dunia ini, yang abadi dan kekal itu adalah perubahan. Berkaitan dengan wawasan nusantara yang syarat dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan di bentuk dalam proses panjang sejarah perjuangan bangsa, apakah wawasan bangsa Indonesia tentang persatuan dan kesatuan itu akan terhanyut tanpa bekas atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang Wawasan Persatuan bangsa. Tantangan itu antara lain adalah pemberdayaan rakyat yang optimal, dunia yang tanpa batas, era baru kapitalisme, dan kesadaran warga negara. (dari berbagai sumber)


Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional

1)    Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas aktif. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut tampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
2)    Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Di samping itu, implementasi wawasan nusantara mencerminkan tanggung jawab pengelolaa sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
3)    Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia Tuhan. Implementasi ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau kepercayaan,serta golongan. Berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.
4)    Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Pertahanan dan
keamanan
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan keamanan akan menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada tiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini menjadi modal utama yang akan mengerakkan partisipasi setiap warga negara indonesia dalam menghadapi setiap bentuk ancaman antara lain :
ü  Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya adalah
ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.
ü  Tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam pertahanan dan keamanan Negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.


Penerapan Wawasan Nusantara

1)    Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan wawasan nusantara. Khususnya di bidang wilayah. Adalah diterimanya konsepsi nusantara di forum internasional. Sehingga terjaminlah integritas wilayah territorial Indonesia. Laut nusantara yang semula dianggap “laut bebas” menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia.
2)    Pertambahan luas wilayah sebagai ruang lingkup tersebut menghasilkan sumber
daya alam yang mencakup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
3)    Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional terutama negara tetangga yang dinyatakan dengan persetujuan yang dicapai
4)    Penerapan wawasan nusantara dalam pembangunan negara di berbagai bidang tampak pada berbagai proyek pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, komunikasi dan transportasi.
5)    Penerapan di bidang sosial dan budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib sepenanggungan dengan asas pancasila.
6)    Penerapan wawasan nusantara di bidang pertahanan keamanan terlihat pada kesiapsiagaan dan kewaspadaan seluruh rakyat melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta untuk menghadapi berbagai ancaman bangsa dan Negara.

 sumber :

Wawasan Nusantara Indonesia


           
      I.        Paham Kekuasaan
a)    Machiavelli (abad XVII)
Sebuah negara itu akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil:
ü  Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara  dihalalkan
ü  Untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (devide et empera)  adalah sah.
ü  Dalam dunia politik,yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
b)   Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Perang dimasa depan merupakan perang total, yaitu perang yang mengerahkan segala daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi, yang didukung oleh sosial budaya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa  untuk membentuk kekuatan pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
c)    Jendral Clausewitz (abad XVIII)
Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya dia bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia. Dia menulis sebuah buku tentang perang yang berjudul “Vom Kriegen” (tentang perang). Menurut dia  perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.
d)   Fuerback dan Hegel
Ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar surplus ekonominya, terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh negara itu.
e)    Lenin (abad XIX)
Perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Perang bahkan pertumpahan darah/revolusi di negara lain di seluruh dunia adalah sah, yaitu dalam rangka mengkomuniskan bangsa di dunia.
f)     Lucian W. Pye dan Sidney
Kemantapan suatu sistem politik hanya dapat dicapai apabila berakar pada kebudayaan politik bangsa ybs. Kebudayaan politik akan menjadi pandangan baku dalam melihat kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya. Dalam memproyeksikan eksistensi kebudayaan politik tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi-kondisi obyektif tetapi juga harus menghayati kondisi subyektif psikologis sehingga dapat menempatkan kesadaran dalam kepribadian bangsa.

    II.        Teori Geopolitik
Kata “Geopolitik” berasal dari kata “Geo” dan “politik”. “Geo” berarti bumi, dan “Politik” berasal dari bahasa Yunani “Politeia” yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri, yaitu Negara, dan teia berarti urusan. Sementara dalam bahasa inggris, Politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga Negara suatu bangsa.
Geopolitik adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri, lingkungan yang berwujud Negara kepulauan berlandaskan Pancasila dan UUD1945.
Pandangan para pemikir geopolitik dapat dikemukakan sebagai berikut :
a)    Friedrich Ratzel (1844-1904) dengan Teori Ruang
Intinya Ia menyatakan Negara sebagai makhluk hidup yang makin sempurna dan membutuhkan ruang hidup yang makin meluas karena kebutuhan. Dalam teorinya bahwa “bangsa yang berbudaya tinggi akan membutuhkan sumber daya manusia yang tinggi dan akhirnya mendesak wilayah bangsa yang primitive”
b)   Rudolf Kjellen (1864-1922) dengan Teori Kekuatan
Ia menyatakan bahwa “ Negara adalah satuan politik yang menyeluruh serta sebagai satuan biologis yang memiliki intelektualitas”. Dengan kekuatannya mampu mengeksploitasi Negara “primitive” agar negaranya dapat berswasembada.
c)    Karl Haushofer (1869-1946) dengan Teori Pan Region
Ia berpendapat bahwa pada hakikatnya dunia dapat dibagi dalam 4 kawasan benua (pan region) dan dipimpin oleh Negara unggul. Teori ruang dan teori kekuatan merupakan hasil penelitiannya, serta dikenal juga sebagai teori pan regional. Isi teori pan regional antara lain :
·         Lebensraum (ruang hidup) yang “cukup”
·         Autarki (swasembada)
·         Dunia dibagi 4 Pan Region, yaitu : Pan Amerika, Pan Asia Timur, Pan Rusia India, dan Pan Eropa Afrika

   III.        Wawasan Nasional Indonesia
Wawasan nasional Indonesia dikembangkan berdasarkan wawasan nasional secara universal sehingga dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dipakai negara Indonesia.
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan : “Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme.
Bangsa Indonesia yang berfalsafah & berideologi Pancasila menganut paham : tentang perang dan damai berupa, Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan

  1. Batas Wilayah Indonesia
Sebagai factor eksistensi suatu Negara, wilayah nasional perlu ditentukan batas-batasnya agar tidak terjadi sengketa dengan Negara tetangga. Mengenai batas Negara RI dan tantangannya dapat diketahui dalam uraian berikut :
a)    Ordonantie (UU Belanda) 1939
Yang disahkan pada tanggal 26 Agustus 1939 dimuat dalam staatblad No.422 tahun 1939, tentang “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen Ordonantie”. Dalam ketentuan ordonantie ini, penentuan lebar laut wilayah sepanjang 3 mil laut dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang surut, dikenal juga dengan countour pulau/darat. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai Negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada diluar wilayah yurisdiski nasional. Dengan demikian, secara hukum dalam kantong-kantong laut nasional, tidak berlaku hokum nasional.
b)   Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957
Pada hakikatnya Deklarasi Juanda adalah perubahan terhadap ketentuan ordonansi pada lembaran Negara (staatblad) No.422 tahun 1939, sebagai berikut :
Ø  Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi didasarkan pada garis pasang surut (low water line), tetapi pada system penarikan garis lurus (straight base line) yamg diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar dari pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk ke dalam wilayah Negara RI (point to the point theory).
Ø  Penentuan lebar laut wilayah dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut. Deklarasi ini pada hakikatnya adalah menerapkan asas archipelago atau asas nusantara. Didalam deklarasi ini terkandung kepentingan dan tujuan bangsa Indonesia, yaitu keutuhan wilayah Negara di lautan.
Ø  Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional. Pada tanggal 21 Maret 1980, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan pengumuman tentang ZEE selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Karena pengumuman tersebut, sampai saat ini telah ada lebih kurang 90 negara yamg telah mengeluarkan pernyataan pengakuan tentang ZEE ataupun zona perikanan yang lebarnya 200 mil tersebut.

  1. Wawasan nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografinya yang berwujud Negara kepulauan berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Wawasan nusantara ini dijiwai dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dan tetap menghargai serta menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
a)    Kedudukan Wawasan Nusantara
ü  Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Bangsa Indonesia merupakan ajaran yang diyakini kebenaran oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan visional dalam menyelenggarakan kehidupan nasional.
ü  Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari spesifikasi sebagai berikut :
1.    Pancasila sebagai falsafah, ideology bangsa, dan dasar Negara; berkedudukan sebagai landasan idiil.
2.    UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara; berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
3.    Wawasan Nusantara sebagai visi nasional; berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
4.    Ketahanan Nasional sebagai konsepsi nasional; berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
5.    GBHN sebagai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar nasional; berkedudukan sebagai landasan operasional.
b)   Fungsi Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijakan, keputusan, tindakan, dan perbuatan bagi penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah, maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c)    Tujuan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia dalam segala bidang kehidupan. Demi tercapainya tujuan nasional tersebut merupakan pancaran dari makin meningkatnya rasa, pemahaman, dan semangat kebangsaan dalam jiwa bangsa Indonesia sebagai hasil pemahaman dan penghayatan Wawasan Nusantara.




sumber :
2.    Srijanti, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu.





Selasa, 08 Maret 2011

Bukan Warga Negara Kelas Dua


Bukan Warga Negara Kelas Dua
PDF
Cetak
Email

Oleh : Dian Purba
Soekarno pernah dituduh sebagai anggota Ahmadiyah, bahkan propagandaisnya Ahmadiyah, saat presiden pertama Indonesia itu dibuang di Ende tahun 1936.
Tanggapan Soekarno dengan kabar tak berdasar itu menjadi sangat menarik menghubungkannya dengan penyerangan warga oleh kelompok yang mengatasnamakan agama menyerang rumah pimpinan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan menewaskan tiga jemaat Ahmadiyah.
"Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih," tulis Soekarno. "Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujadid. Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyah yang saya dapat banyak faedahnya dari padanya: "Mohammad the Prophet" dari Mohammad Ali, "Inleding tot de Studie van den Heiligen Qoer’an" juga Mohammad Ali, "Het Evangelie van den daad" dari Chawadja Kamaloedin, "De bronnen van het Christendom" dari idem, dan "Islamic Review" yang banyak memuat artikel yang bagus" (Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi, Dibawah Bendera Revolusi, 1964).
Yang terjadi di Cikeusik adalah kebalikan tak terbandingkan dengan apa yang dilakukan Soekarno. Kalau Soekarno mampu melihat sisi lain Ahmadiyah dengan mengucapkan terima kasih karena banyak buah pemikiran tokoh-tokohnya disukai Soekarno, massa yang mengamuk di Cikeusik terusik benar dengan kedatangan beberapa orang jemaat Ahmadiyah dari Jakarta ke desa itu. Mereka lantas marah dan menyerbu rumah tempat mereka berkumpul. Tiga orang meninggal.
Pertanyaannya kemudian: apakah agama memberi legitimasi untuk merusak bahkan membunuh? Kekerasan mengatas namakan agama sudah sangat sering terjadi. Mata kita terbelalak melihat tragedi Temanggung. Karena tidak puas dengan keputusan pengadilan yang menghukum Antonius Richmond Bawengan lima tahun penjara dalam kasus penistaan agama, massa merusak Gedung PTN Temanggung. Di luar mereka melempari polisi. Membakar bangunan gereja, merusak sekolah, dan membakar beberapa kendaraan.
Kita kembali ke Ahmadiyah: di mana negara saat peristiwa itu terjadi? Atau: bagaimana negara memandang Ahmadiyah sebagai warga negara yang kepadanya melekat hak-hak warga negara yang diamanatkan konstitusi? Pertanyaan pertama dengan mudah saja kita menyimpulkan: negara absen. Polisi sebagai pelindung masyarakat tak lebih hanya memainkan peran penonton saja di pinggir lapangan.
Diskriminasi Negara
Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 tidak mampu menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Butir kedua keputusan itu berbunyi: "Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW."
Dilanjutkan butir keempat: "Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hubungan terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)."
Jemaat Ahmadiyah mesti melepaskan "ke-Ahmadiyah-annya" terlebih dahulu (butir kedua SKB) dan kemudian setelah itu mereka akan terbebas dari aksi kekerasan (butir keempat SKB). Tafsir inilah yang dilakukan massa yang mengamuk di Cikeusik. Sementara itu pemerintah berdiri di posisi yang tak bisa memisahkan antara keyakinan dan kewarganegaraan. Pemerintah abai dengan konstitusi yang menjamin setiap orang bebas beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Absennya pemerintah di hampir setiap aksi kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah seolah-olah mengisyaratkan negara telah tunduk ke fatwa MUI yang memaksa pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Robertus Robet menggambarkannya sangat baik (Prisma, Vol. 28, Juni 2009). "Apabila MUI menolak Ahmadiyah sebagai bagian dari "umat Islam", apakah negara kemudian bisa menolak Ahmadiyah atau memberlakukan Ahmadiyah bukan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki previledges sebagai warga dengan hak-hak sipil dan sosial yang diakui dalam sebuah masyarakat demokratis?"
Atau, lanjut Robertus: "Apabila Ahmadiyah dengan berbasis pada konsepsi hak-hak konstitusionalnya bersikukuh untuk tetap mempertahankan sistem identifikasi partikularnya sendiri sehingga bertentangan dengan MUI, apa yang akan dilakukan negara?" Atau pertanyaan lanjutan: hak apa yang dimiliki MUI sehingga mempunyai otoritas menentukan keyakinan seseorang terlarang atau tidak? Atau apakah negara sudah menyerahkan kedaulatan untuk menghukum keyakinan seseorang dan menjaga kemurnian suatu agama kepada Departemen Agama dan Kejaksaan yang diwakili oleh Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat?
Peristiwa Cikeusik menggambarkan ke kita bahwa Ahmadiyah adalah warga negara kelas dua. Dengan demikian atas nama agama mereka berhak diusir, dibunuh, dan bila perlu dimusnahkan. Kita hanya memiliki Presiden yang cukup hanya prihatin dan mengutuk sekeras-kerasnya tindakan biadab kepada jemaat Ahmadiyah yang merasa cukup mengatasinya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 yang isinya menyisakan multitafsir.
Tirani mayoritas mengutuk kelompok minoritas berlainan keyakinan mesti disingkirkan. Diskriminasi minoritas dalam agama seperti ini harus kita perangi. Konsep mayoritas dan minoritas di negara yang menjadikan demokrasi sebagai landasan berbangsa sudah semestinya dibuang jauh-jauh. Tugas negara adalah menjamin setiap orang merasa nyaman dengan keyakinannya. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena itu melanggar kebebasan hati nurani. Tidak terkecuali untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia.***

Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=86318:bukan-warga-negara-kelas-dua&catid=78:umum&Itemid=139