Selasa, 08 Maret 2011

Bukan Warga Negara Kelas Dua


Bukan Warga Negara Kelas Dua
PDF
Cetak
Email

Oleh : Dian Purba
Soekarno pernah dituduh sebagai anggota Ahmadiyah, bahkan propagandaisnya Ahmadiyah, saat presiden pertama Indonesia itu dibuang di Ende tahun 1936.
Tanggapan Soekarno dengan kabar tak berdasar itu menjadi sangat menarik menghubungkannya dengan penyerangan warga oleh kelompok yang mengatasnamakan agama menyerang rumah pimpinan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan menewaskan tiga jemaat Ahmadiyah.
"Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih," tulis Soekarno. "Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujadid. Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyah yang saya dapat banyak faedahnya dari padanya: "Mohammad the Prophet" dari Mohammad Ali, "Inleding tot de Studie van den Heiligen Qoer’an" juga Mohammad Ali, "Het Evangelie van den daad" dari Chawadja Kamaloedin, "De bronnen van het Christendom" dari idem, dan "Islamic Review" yang banyak memuat artikel yang bagus" (Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi, Dibawah Bendera Revolusi, 1964).
Yang terjadi di Cikeusik adalah kebalikan tak terbandingkan dengan apa yang dilakukan Soekarno. Kalau Soekarno mampu melihat sisi lain Ahmadiyah dengan mengucapkan terima kasih karena banyak buah pemikiran tokoh-tokohnya disukai Soekarno, massa yang mengamuk di Cikeusik terusik benar dengan kedatangan beberapa orang jemaat Ahmadiyah dari Jakarta ke desa itu. Mereka lantas marah dan menyerbu rumah tempat mereka berkumpul. Tiga orang meninggal.
Pertanyaannya kemudian: apakah agama memberi legitimasi untuk merusak bahkan membunuh? Kekerasan mengatas namakan agama sudah sangat sering terjadi. Mata kita terbelalak melihat tragedi Temanggung. Karena tidak puas dengan keputusan pengadilan yang menghukum Antonius Richmond Bawengan lima tahun penjara dalam kasus penistaan agama, massa merusak Gedung PTN Temanggung. Di luar mereka melempari polisi. Membakar bangunan gereja, merusak sekolah, dan membakar beberapa kendaraan.
Kita kembali ke Ahmadiyah: di mana negara saat peristiwa itu terjadi? Atau: bagaimana negara memandang Ahmadiyah sebagai warga negara yang kepadanya melekat hak-hak warga negara yang diamanatkan konstitusi? Pertanyaan pertama dengan mudah saja kita menyimpulkan: negara absen. Polisi sebagai pelindung masyarakat tak lebih hanya memainkan peran penonton saja di pinggir lapangan.
Diskriminasi Negara
Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 tidak mampu menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Butir kedua keputusan itu berbunyi: "Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW."
Dilanjutkan butir keempat: "Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hubungan terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)."
Jemaat Ahmadiyah mesti melepaskan "ke-Ahmadiyah-annya" terlebih dahulu (butir kedua SKB) dan kemudian setelah itu mereka akan terbebas dari aksi kekerasan (butir keempat SKB). Tafsir inilah yang dilakukan massa yang mengamuk di Cikeusik. Sementara itu pemerintah berdiri di posisi yang tak bisa memisahkan antara keyakinan dan kewarganegaraan. Pemerintah abai dengan konstitusi yang menjamin setiap orang bebas beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Absennya pemerintah di hampir setiap aksi kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah seolah-olah mengisyaratkan negara telah tunduk ke fatwa MUI yang memaksa pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Robertus Robet menggambarkannya sangat baik (Prisma, Vol. 28, Juni 2009). "Apabila MUI menolak Ahmadiyah sebagai bagian dari "umat Islam", apakah negara kemudian bisa menolak Ahmadiyah atau memberlakukan Ahmadiyah bukan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki previledges sebagai warga dengan hak-hak sipil dan sosial yang diakui dalam sebuah masyarakat demokratis?"
Atau, lanjut Robertus: "Apabila Ahmadiyah dengan berbasis pada konsepsi hak-hak konstitusionalnya bersikukuh untuk tetap mempertahankan sistem identifikasi partikularnya sendiri sehingga bertentangan dengan MUI, apa yang akan dilakukan negara?" Atau pertanyaan lanjutan: hak apa yang dimiliki MUI sehingga mempunyai otoritas menentukan keyakinan seseorang terlarang atau tidak? Atau apakah negara sudah menyerahkan kedaulatan untuk menghukum keyakinan seseorang dan menjaga kemurnian suatu agama kepada Departemen Agama dan Kejaksaan yang diwakili oleh Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat?
Peristiwa Cikeusik menggambarkan ke kita bahwa Ahmadiyah adalah warga negara kelas dua. Dengan demikian atas nama agama mereka berhak diusir, dibunuh, dan bila perlu dimusnahkan. Kita hanya memiliki Presiden yang cukup hanya prihatin dan mengutuk sekeras-kerasnya tindakan biadab kepada jemaat Ahmadiyah yang merasa cukup mengatasinya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 yang isinya menyisakan multitafsir.
Tirani mayoritas mengutuk kelompok minoritas berlainan keyakinan mesti disingkirkan. Diskriminasi minoritas dalam agama seperti ini harus kita perangi. Konsep mayoritas dan minoritas di negara yang menjadikan demokrasi sebagai landasan berbangsa sudah semestinya dibuang jauh-jauh. Tugas negara adalah menjamin setiap orang merasa nyaman dengan keyakinannya. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena itu melanggar kebebasan hati nurani. Tidak terkecuali untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia.***

Sumber : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=86318:bukan-warga-negara-kelas-dua&catid=78:umum&Itemid=139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar